Kamis, 30 Oktober 2008

PENANTIAN TAK SAMPAI

memanah rasa dipersimpangan jalan // tertutup belukar yang berduri // menjaga dengan setia // dari sentuhan setiap jiwa // hingga berjuta pilihan bermakna // kupilih busur yang terindah // kusematkan sebuah tiara // nan indah semerbak // berharap hatimu terluka // kembali menunggu //
senyum yang tak hilang // luka pun tak kunjung datang // pongah mungkin yang terlalu kupajang // hingga penantian jadi semakin panjang // kutarik lagi sebuah busur yang merangsang // kau hanya senyum menantang // tetap terlindung belukar yang kian berjenjang // kembali meregang //
ingin kulukis sebuah kesan, hingga merajah pesan
tapi mungkin Tuhan memang tak berkenan
hingga kisah ini pun tak pernah sampai
...padamu...juga Tuhanmu...mungkin hatimu...(ach...)

Selasa, 28 Oktober 2008

HARI YANG SEMPURNA

hujan, tercurah dari langit
siang ini ketika aku menanti
datangnya sahabat sejati

kerinduan yang dalam
kehangatan nan indah
keharuan penuh kisah

semua bak hujan yang tercurah
merembesi setiap dinding
tak terkendali

sahabat, kita pernah terluka
kau tetap saja bersahaja
sahabat, kita tak sepaham
kau selalu saja bersabar

kutunggu kau di sini, meski waktu kian tak berarti
karena kau, aku belajar untuk berarti

AMUK DOEA JANUARI

sejenak kusempatkan menatapnya//walau nalar membeku dan mulut terkunci
sentuhan rasa menguap pada senja//yang tersisa hanya kegelapan
letakan saja pada angin semua mimpiku//biar berlalu tanpa lengkingan syahdu

gemeretak jemari di dua januari//menyemai harapan di jingga langit
saat tapal batas terinjak//tinggalkan jejak//lalu terhenyak
sosok yang kutatap//seringai maut penuh hujat//menuai amuk

gemulai lembut tubuh menikam//senyum indah mencengkram jiwa
rangkaian makna tercecer//bersama limbah cerita luka
pada Tuhan aku bertanya//meski aku tak pernah bicara pada-Nya

di antara logika yang berlumur dosa//kuselipkan kebenaran yang terluka
entah cinta atau mungkin hanya do'a//agar kau selalu bermakna
dalam dada bahkan jiwa//merajah dalam ingatan pada cerita kita

sejenak kutatap...
sejenak kuingat...
sejenak kuharap...tak perlu lagi kuungkap
dua januari,....sebuah ilusi...

Jumat, 24 Oktober 2008

DI ANTARA TITIK DAN KOMA

kumulai hidup ini dengan bernafas//meski sesak tetap kupaksa//dengan udara yang tercemar
jejak yang samar kutelanjangi//masa depan yang suram kudatangi//masa lalu harus kuingkari
tak ada cerita yang kubawa//karena serpihan telah sirna//potret kujadikan hiasan

mengunduh kisah yang hilang//mayapada hingga dunia yang gila//dengan irama tak bergelora
kucoba untuk mencerna//setiap bilangan tanpa makna//gerah merambah dan terluka
menyadap jiwa yang gersang//memangkasnya dengan hujan//di kemarau yang panjang

hidup adalah usaha untuk mati//dan mati adalah kehidupan nan abadi//cukup menunggu
gugurkan waktu//buahi senja//dihiasi semerbak atsiri
merebah di tanah yang memerah//dengan langit yang menghitam//bersama kebimbangan

di antara titik dan koma//kita berjumpa...

Rabu, 22 Oktober 2008

KRISIS DI BELAKANG KANTIN

Belum hilang dari ingatan kita dan juga belum selesai kisahnya hingga kini, badai krisis telah kembali. Berawal dari krisis ekonomi Amerika Serikat, biangnya globalisasi, hingga akhirnya sampai lagi di negeri kita ini. Aku pikir lebih enak bahas yang lain saja. Seperti biasa, sebelum masuk kerja aku biasanya nongkrong di belakang kantin kantor dengan beberapa teman, sambil menunggu jam kerja sekaligus juga menghindari acara briefing yang sering kita sebut sebagai praperadilan. Karena di praperadilan itulah biasanya para juragan "mengomentari" (dengan tanda kutip) hasil kerja kita, dan biasanya para pencari muka beradu mulut dengan mesra di ajang ini. Muak juga kalau mengingat hal itu. Oh iya, kami ada tujuh orang yaitu; Aku, Kumkum, Ichunk, Dekok, Faiz, Uje, dan terakhir Tugi (semua bukan nama sebenarnya demi menjaga kesucian). Kami sering dianggap sebagai kaum oposisi di kantor karena seringnya kami mengkritik kebijakan-kebijakan dari pemerintah maupun dari pihak manajemen perusahaan di mana kami bekerja.
Sebenarnya tempat ini tidak layak untuk menjadi tempat nongkrong, selain tidak ada tempat duduk (jadi kalo mau duduk seadanya aja, dan aku jamin lumayan pegal), juga tidak ada peneduh yang "established" karena kami hanya mengandalkan sebuah pohon yang hingga detik ini masih menjadi perdebatan mengenai namanya. Ada yang mengatakan pohon Sukun tapi sebagian lagi mengatakan bahwa itu sebenarnya pohon Kluwih. Aku sendiri tidak berpihak pada siapapun, dan aku memang tidak peduli pada perdebatan tersebut. Kami bertujuh secara kebetulan tidak bekerja di departemen yang sama. Aku sendiri di Finance & Accounting, Kumkum di HRD, Ichunk dari Quality Control, Dekok di Quality Inspection, Faiz di IFP, Uje dari GA dan Tugi di PPC. Entah bagaimana awalnya kami tiba-tiba seperti mendapatkan wangsit untuk saling mengenal dan menyukai tempat yang sama.
Hampir setiap hari kami pasti berkumpul di tempat tersebut dengan jumlah tetap, tujuh orang. Bahkan jika saja dalam satu hari salah satu dari kita tidak nongkrong, rasanya pada saat bekerja terasa sekali ada yang kurang. Dengan kata lain rasanya ada yang ngga afdhol, layaknya ke Mekah tapi ngga singgah ke Madinah. Benar-benar tempat ini begitu addictive bagi kita.
Berbagai hal pernah kita bahas di sini, dari kelakuan dan kebijakan bos yang terkadang lucu bahkan menggemaskan. Hingga tingkah laku anggota dewan, presiden, wakil presiden dan pejabat-pejabat publik yang (pasti) menjijikan. Atau, ehm, seperti biasanya laki-laki kalau nimbrung tidak lepas dari mengartikan sosok yang namanya perempuan, walalupun aku juga terkadang sadar bahwa yang kita lakukan sudah menjurus pada sexual harrashment (sorry yah para perempuan sedunia). Namun, memang itu lah yang benar-benar bisa memberikan nafas segar bagi kita yang tercekik oleh rutinitas.
Akhir-akhir ini yang menjadi headline di belakang kantin adalah krisis ekonomi yang tengah menari genit di dunia. Dengan latar belakang dan perspektif (bahasa kerennya) yang berbeda, kami mencoba untuk saling berargumentasi bak kaum intelektual yang biasa nongol di televisi dan berbicara dengan gaya bahasa yang tidak mudah dipahami.
Ichunk yang lulusan STM menganggap bahwa krisis yang sedang terjadi di Amerika tidak akan pernah melanda kita yang tinggal di Indonesia. Dia beranggapan bahwa Amerika itu jauh. Lain lagi dengan Tugi, sebagai mantan santri di sebuah pesantren mengatakan bahwa gonjang-ganjing ekonomi yang terjadi di negeri kaum kafir itu merupakan balasan dari Allah SWT atas perbuatannya menyerang Irak dan menyengsarakan kaum Muslim. Faiz yang memiliki usaha jual beli kendaraan bekas, berpendapat bahwa krisis yang saat ini terjadi karena barang-barang yang harganya tinggi hingga tidak terjangkau oleh pembeli, makanya dia selalu menyarankan untuk membeli barang-barang bekas saja. Faiz menambahkan bahwa dengan membeli barang bekas maka kita telah membantu usaha kecil masyarakat seperti dia. Uje yang hanya mengecap pendidikan hingga SMP dan memiliki kebiasaan menenggak minuman keras (sorry uje tapi kutulis ini untuk menambah seru saja) lebih menekankan persoalan pada kerakusan kaum kaya yang menimbun barang-barang sehingga harganya naik. Makanya dia bercita-cita untuk menimbun minuman keras supaya kalau sudah susah didapat, selain untuk dikonsumsi sendiri juga dijual dan ia akan cepat kaya.
Kumkum, sebagai mantan aktifis sebuah partai di tingkat kelurahan mengatakan bahwa krisis ini lahir karena masyarakat sudah menjauh dari nilai-nilai kejujuran. Dengan gaya layaknya orator partai politik yang sedang berkampanye, ia menambahkan bahwa dari orang susah hingga orang yang kaya, dari umat sampai dengan imamnya, dari rakyat dengan pemimpinnya, semua sudah tidak ada lagi yang bisa mengatakan kejujuran. semua penuh dengan kebohongan, kepalsuan, money politics, manipulasi hingga semuanya kemudian berakumulasi yang akhirnya menimbulkan krisis. Kumkum pun yakin jika krisis tersebut akan sampai di negeri kita tercinta ini, meskipun dampaknya tidak akan sehebat krisis tahun 1997. Karena yang terkena lebih dulu adalah negara yang disebut sebagai negara kaya. Dengan demikian, akan lebih cepat penyelesainnya. Dekok menimpali, ini karena kesalahan sistem yang salah atau dengan kata lain mismanajemen (salah urus), tanpa melanjutkan argumentasinya.
Aku sendiri malas berkomentar, yang jelas kurasakan adalah naiknya cicilan rumah dikarenakan penyesuaian bunga kredit bank oleh Bank Indonesia hingga 15%. Aku hanya mendengarkan mereka saling bersilang pendapat dengan diselingi sendau gurau. Tiba-tiba, primadona kantor lewat dengan langkah anggunnya. konsentrasi kawan-kawan pun buyar, pembahasan krisis pun usai, yang tersisa hanya decak kagum dan lelehan liur yang dipaksa ditelan. Memang, hanya dia yang mampu menghentikan putaran dunia kecil di belakang kantin ini. Atau mungkin memang krisis keimanan lebih dahulu tiba di sini. kehidupan pun berlanjut. Wassalam

Senin, 20 Oktober 2008

TERBUNUH RUTINITAS

I
Entah kenapa hari ini rasanya menjadi hari yang paling membosankan dalam hidupku. Biasanya sebatang rokok dan secangkir kopi mampu mengusir kepenatanku. Kali ini tidak. Sudah berbatang-batang rokok kuhabiskan, jenuh tetap saja sabar menunggu hariku ini. Di mejaku bertumpuk berkas-berkas kerjaan yang rasanya malas sekali untuk kusentuh. Yach, krisis global membuat kerjaanku tak pernah selesai. Mengulang kembali hitungan cost production! Dollar selalu menjadi biang kerok! Setiap kegenitannya selalu membuat aku repot, tarianmu seakan menjebak waktuku. Kau memang biadab! Waktuku tersita hanya untuk melihat pertunjukkanmu belaka. Keparat!
II
Aku mencoba mencuri waktu. Tapi jenuh ini tetap saja tak bergeming. Dan aku juga seperti tak mampu lagi melawan, pasrah pada kenyataan yang menjebak. Kucoba untuk mengingat kembali apa yang pernah kulakukan untuk membunuh jenuh. Namun, aku yakin sudah semuanya kulakukan, tak ada yang mempan. Kuputar lagu-lagu Pearl Jam dari album Ten, Versus, Vitalogy, No Code, Binaural, and more...sama saja! Lalu kucoba yang lebih suram: Alice in Chains lewat Push Me Down, Rooster, Would?, Man In The Box and more...tetap sama! Kubongkar lagi koleksi lagu dalam PC-ku, rasanya tidak berubah, tetap membosankan. Jengah!
III
Mungkin aku harus review kembali tujuan hidup dan cita-citaku. Ach, memang ngga nyambung tapi memang menarik jika kita memikirkan kembali apa makna hidup kita ini. Dari pagi berangkat ke kantor, lalu bekerja, kemudian pulang terus istirahat dan esoknya mengulang hal yang sama. Semua demi mempertahankan hidup, prestise, status sosial, jabatan dan bla, bla, bla. Semuanya tak ada yang terbawa ketika kita mati meninggalkan dunia yang fana ini. Siapapun kita yang terbawa hanyalah amal perbuatan. Semoga...Amien.




Jumat, 17 Oktober 2008

DI TAMAN KOTA

kupajang tanda tanya
tepat di antara dua kelopak mata
terselip di keriputnya kulit

aku jengah pada senyuman
yang terpampang di pinggir jalan
dengan wajah seolah berwibawa

Sabtu, 11 Oktober 2008

MEMAKNAI NAFSU DENGAN RUPIAH

aku terpilin
tak bisa lepas
memagut jiwa yang lelah
membuncah rasa
mengepak sayap
meradang peluh
menguak polah
...kau begitu indah...

aku mendesah
begitupun engkau
meski dengan helai rupiah
kau begitu sempurna
nalar yang terjajah
logika terus terdesak
senyummu selalu merekah
...kau undang hasrat...

semua tak terasa
berlalu dengan sengaja
pengalaman yang begitu menggoda
walau rupiah harus selalu ada
agar nafsuku bisa bermakna

CATATAN PADA KENYATAAN

di tepian jaman menunggu
perdebatan teori-teori yang mendewasakan
tanpa jawaban yang mampu menidurkan

mata yang buta menyaksikan
kaki yang lumpuh berjalan
telinga yang tuli mendengar
dan mulut yang bisu bicara

tak ada kebenaran yang datang
kesejahteraan hanya ungkapan
tak pernah tiba kedamaian
karena penindasan adalah harapan

teori tak pernah bisa menjawab
karena jawaban tak butuh alasan
jaman tetap akan berjalan
dan keberpihakan ada pada sang pemenang

LUKA OKTOBER 65 (TUMPAS KELOR)

bau amis darah masih menyengat
di antara asap mesiu yang menggumpal
ada amarah yang dibalut dendam

tak ada alasan karena memang tak suka
tak ada harapan karena memang tak ada jalan
semua harus terbalaskan dengan suka cita

pekik kemenangan menjadi tangisan korban
kebiadaban adalah tanda majunya peradaban
karena kekalahan menjadi nilai kemutlakan

aku saksikan di abad ini:
bahwa dendam masih merajah
bahwa korban masih terluka
bahwa kekuasaan masih menindas

DI SUDUT BENDUNGAN SAGULING 2008

awan menghitamkan langit
kelamkan waktu yang bergulir
saat aku terduduk di hilir sungai
menertawai diri dengan getir

rumput bergoyang menari peperangan
menolak cengkeraman tanah
seekor belalang hinggap di batangnya
menggelitik sang pohon agar tertawa

air tenang berjenjang sembunyikan kebuasan
jarak pandang yang terhalang tak kuhiraukan
karena bayangan memukau hingar otakku
dan angin menghibur panas tubuhku